Ia tidak benar-benar tidur meski matanya terpejam. Dalam keremangan cahaya ia bisa melihat bayang-bayang bergerak entah membentuk apa. Bayangan yang tak pernah ia mengerti meski ia lalui setiap malam. Ia juga tak pernah lepas menangkap suara lenguh yang kian lama kian berat yang selalu berakhir dengan erangan. Namun ia juga tak bisa menerjemahkannya.
Ia hanya tahu suara itu berasal dari kerongkongan ibunya. Sementara suara yang lain entah. Ia tidak pernah bisa mengenalinya, karena suara itu akan berbeda setiap malam.
--------0-------
Setiap malam ia harus tidur di bawah ranjang. Di atas tikar plastik dan bantal kapuk ia berusaha memejamkan mata. Namun suara-suara itu sering bikin ribut dan membuatnya tak bisa tidur. Ranjang yang bergerak-gerak dan berbunyi kriet-kriet juga membuatnya takut kalau-kalau nanti remuk dan menimpanya. Ia tak mau mati tertimpa ranjang. Apalagi di atasnya ada dua orang yang besar-besar.
Di setiap malam itu ia menyaksikan bayang-bayang bergerak, kadang berdiri, kadang duduk, kadang berguling, dan kadang saling tindih atau saling tunggang seperti kuda yang sedang dipacu. Bayangan yang satu akan meronta-ronta, bayangan yang lain akan mencengkeram. Bayang-bayang itu seperti sedang menari tanpa irama dan iringan musik. Bayang-bayang itu bergerak dengan sendirinya, dengan naluri bayang-bayang.
Bayang-bayang itu lambat laun akan bergerak makin cepat. Suara-suara itu juga makin keras. Ranjang di atasnya juga bergerak lebih keras dengan suara kriet-kriet yang lebih kerap. Ia semakin takut. Bayang-banyang itu akan melahapnya. Ranjang itu akan menimpanya. Ia akan mati. Tidaaaak.
Ia menutup mata dan telinganya dengan bantal.
---------0--------
Ia tidak pernah bertanya pada ibunya mengapa ia harus tidur di bawah ranjang setiap malam. Mengapa ia tidak boleh tidur di atas ranjang dan menyaksikan bayang-bayang itu bergerak setiap malam tanpa menimbulkan ketakutan. Ia ingin melihat bayang-bayang yang bergerak itu tidak sebagai bayang-bayang, tapi sebagai gambar-gambar yang jelas dari ibunya, dari teman lelakinya. Ia ingin melihat bagaimana bayang-bayang itu bergerak tanpa irama. Juga bagaimana bayang-bayang itu menghasilkan suara yang berat yang selalu berakhir dengan erangan. Ia ingin sekali melihat itu dari dekat. Tapi ia takut pada ibunya.
“Jangan sekali-kali kamu keluar dari bawah ranjang itu. Ibu akan menghajarmu.”
Ia selalu ingat ancaman ibu. Ia tak akan pernah berani keluar dari sana, meski sangat ingin.
--------0--------
Di malam yang lain ia menyaksikan bayang-bayang itu tidak lagi dua, tetapi tiga. Bayang-bayang itu akan membentuk tarian yang lebih aneh lagi. Sebuah bayangan akan diapit oleh dua bayangan yang lain. Bayangan yang diapit itu akan mengendus-endus bayangan yang lain di depannya yang kini tengah berdiri sambil menengadah. Sementara bayangan yang lain di belakangnya akan berdiri bertumpu pada lututnya dan bergerak maju mundur. Mereka semua mengerang-erang.
Ia juga menyaksikan bayang-bayang itu bergerak makin cepat. Yang satu berganti yang lain, yang satu menimpa yang lain. Bayang-bayang itu kini bergumul menjadi satu membentuk formasi yang kian rumit. Dan suara-suara ribut yang ditimbulkannya semakin memekakkan telinga. Ranjang itu juga bergoyang-goyang dan bersuara makin keras. Ranjang itu akan roboh. Tidaaaak.
Ia menutup mata dan telinganya dengan bantal.
--------0--------
Ia tidak pernah bertanya pada ibunya mengapa bayang-bayang yang bergerak malam ini bertambah satu. Mengapa tidak cukup ada dua bayang-bayang yang bergerak di atas ranjang ini. Bukankah bayang-bayang yang lebih dari dua akan merobohkan ranjang ini. Bagaimana jika ranjang itu benar-benar roboh dan menimpanya. Ia pasti akan mati tertindih ranjang yang di atasnya ada tiga orang besar-besar. Apakah ibunya tidak takut kalau-kalau anaknya akan mati tertimpa ranjang?
Ia tidak pernah bertanya pada ibu.
Ia juga tidak pernah bertanya pada ibunya ketika suatu malam ia melihat sebuah bayang-bayang bergerak menuruni ranjang. Bayangan itu kini menari-nari di lantai tanpa suara. Bayang-bayang itu semakin dekat dengannya. Bayangan itu kini ada di hadapannya. Ia menjerit. Tapi bayang-bayang itu lebih gesit dan telah membekap mulutnya.
Bayang-bayang itu kini mendekapnya dengan begitu erat, mengoyak-koyak tubuhnya, lalu menindih-nindihnya. Bayang-bayang itu kini menari dengan sendirinya. Dan ia hanya bisa diam merasakan tarian bayang-bayang itu.
Malang, 22 Februari 2007 ,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar