Kamis, 03 Maret 2011

Malam Ketika Rembulan Hanya Separuh

Suhartini merasa geram. Ia ingin merobek mulut orang-orang yang ada di hadapannya. Ingin rasanya ia meremukkan kepala-kepala yang menyimpan otak busuk di hadapannya dan menginjak-injaknya seperti mereka menginjak-injak harga dirinya. Ia ingin meludahi jas-jas perlente itu dan mengusirnya dari rumah. Tapi ia tak bisa apa-apa. Ia hanya bisa diam, sesenggukan, dan menahan geram.

“Sudahlah, Bu. Kita berdamai saja. Semua ini juga untuk kebaikan ibu dan anak ibu.”
Wanita itu masih diam saja.

“Coba ibu pikir lebih jernih. Berapa banyak ibu harus mengeluarkan uang untuk membayar pengacara, biaya pengadilan, kepolisian, dan lain-lain jika ingin membawa masalah ini ke meja hijau. Tidak cukup satu-dua juta, Bu. Ibu bisa mengeluarkan berjuta-juta, bahkan berpuluh-puluh juta. Hukum itu mahal, Bu.”

Wanita itu semakin merasa sakit. Sesak semakin menyerang dadanya.

“Kami sudah berbaik hati. Kami mencoba menebus kesalahan dengan memberikan jaminan ini. Ini lima belas juta rupiah. Cukup untuk hidup ibu tiga tahun. Juga bisa untuk menggugurkan kandungan Maya jika ia akhirnya hamil. Kami hanya minta satu: kita anggap masalah ini tak pernah ada. Tak pernah terjadi apa-apa.”

Suhartini kini meradang. Darahnya memuncak. Napasnya semakin berat dan tersengal. Dengan mata nanar ia menatap wajah-wajah keruh yang ada di hadapannya; Pak Bowo, si pengusaha biadab ayah anak bejat itu, para bodyguard yang lebih mirip Herder, dan lurah kemplo si penjilat. Ia merasa sedang berhadapan dengan sekumpulan srigala yang siap mencabik-cabik tubuhnya. Ia merasa dihadapkan pada anjing-anjing liar yang siap memangsanya hidup-hidup. Ia sedang berhadapan dengan pedang-pedang perompak yang siap menebas lehernya. Mereka para penjahat yang sedang berusaha merenggut harga dirinya. Dan ia terjepit. Ia tak kuasa melawan. Sakit yang mendidih di dadanya telah melumpuhkan segala kekuatannya. Bahkan untuk bicara dan menghardik, atau sekedar mencibir orang-orang itu. Ia benar-benar tak mampu melakukannya. Ia benar-benar tak berdaya. Tubuhnya tiba-tiba melumpuh. Matanya diserang seribu kunang-kunang. Ada serubu kupu-kupu yang hinggap di jendela rumahnya, di pintu, di tembok, di sekujur tubuhnya.

--ooOoo—

Malam itu rembulan hanya separuh. Bintang-bintang tak menampakkan diri di langit. Mendung menyelimutinya dan membiarkannya tidur. Angin berdesir seperti membelai malam, menyapa rumah dan pepohonan yang lengang. Di sebuah balai rumah kecil yang terletak agak terpisah dari rumah-rumah yang lain di kampung itu tampak seorang gadis umur belasan sedang bermain sendiri. Ia tampak seperti menari-nari, kadang juga menyanyi-nyanyi. Sesekali berteriak memecah kesunyian malam, lalu tertawa cecegukan. Ia tampak sangat riang seperti sedang merayakan hidupnya. Ia tak pernah menangis. Tapi itulah Maya. Orang-orang sekampung juga sudah mafhum kalau ia tak pernah menangis. Ia selalu riang seperti sedang merayakan hidupnya; menari-nari, menyanyi, melompat, berteriak, dan tertawa cekikikan. Dan semua orang tahu Maya memang gila, tak waras, minus. Sejak bapaknya pergi ke sebuah gunung untuk mencari wangsit dan tak pernah kembali sampai hari ini tiba-tiba ia berubah. Dan perubahan itu cukup mengagetkan warga kampung. Lalu muncul kasak-kusuk kalau ia terkena sesuatu atau sedang diikuti sesuatu, mungkin jin, setan, atau apalah mahluk-mahluk halus yang hidup digunung tempat bapaknya mencari wangsit. Bapaknya sendiri dipercaya jadi suaminya kuntilanak dan hidup di alam sana. Dan sejak hari itu pula dipercaya bahwa keluarga itu keluarga sial.

Malam masih menggelayut di antara batas langit. Dan Maya masih asik bermain sendiri. Ibunya sedang pergi ke desa sebelah ke salah satu saudaranya yang sedang selamatan. Suasana begitu hening. Tapi Maya memecah keheningan itu dengan nyanyian dan gedebag-gedebugnya, juga cekikikan-cekikikannya. Sampai kemudian ada dua pemuda yang sudah ada didekatnya. Tapi Maya tak mempedulikannya. Ia tetap asik dengan dirinya sendiri, sampai salah satu dari pemuda itu, yang memang sudah dikenalnya, menghardiknya.

“Hai, bocah gendheng, mana ibumu?”

Maya tak segera menjawab dengan mulutnya. Sambil tetap menari-nari dan melompat ia menunjuk arah ke mana ibunya pergi. Kedua pemuda itu segera tanggap dengan situasi yang ada. Mereka saling berpandangan. Lalu salah satu di antaranya, entah dapat ilham dari mana, tiba-tiba merenggut lengan Maya dan menyeretnya masuk rumah. Tapi maya memberontak. Sambil tetap melompat-lompat ia mencoba melepaskan lengannya dari genggaman pemuda itu. Pemuda lainnya segera tanggap. Ia cepat-cepat meraih kedua kaki Maya sampai hampir jatuh ke lantai. Keduanya segera menggotong tubuh yang meronta itu ke dalam rumah. Lalu... terdengarlah jeritan-jeritan itu.

Sejak saat itu Maya selalu menjerit-jerit. Dan pada jeritan pertama yang merobek selimut malam itu beberapa warga kampung keluar untuk mencari arah suara. Dari kejauhan mereka bisa melihat dua pemuda bergegas keluar dari rumah Maya, si gadis gila itu. Mereka segera lari menghampirinya. Sebagian mengejar dua pemuda itu, tapi tak berhasil. Mereka melihat Maya, gadis gila yang lugu itu, bersimpuh di lantai menjerit-jerit. Pakainnya sudah compang-camping. Ia meraung-raung. Malam semakin rabun.

--ooOoo—

Suhartini tersadar. Ia membuka matanya dengan berat. Di kepalanya masih terasa beberapa kunang-kunang. Meski sedikit berat ia coba mengangkat kepalanya. Dan mereka, orang-orang brengsek itu, masih ada di hadapannya.

“Kenapa kalian belum pergi?”

“Kami menunggu jawaban dari Ibu. Lagi pula kami semua bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Tak mungkin kami meninggalkan Ibu dalam keadaan seperti tadi. Kami tidak sedang menekan Ibu. Kami tahu ini memang berat bagi Ibu. Tapi sesungguhnya ini juga berat bagi kami. Kita sama-sama menanggung musibah ini. Namun Ibu harus tahu kami akan semakin berat lagi jika masalah ini sampai ke pengadilan dan tercium masyarakat yang lebih luas lagi. Ini menyangkut reputasi dan nama baik. Apakah kami harus mengorbankan harga diri kami yang sudah begitu tinggi hanya untuk masalah kecil yang harusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan? Mengertilah, Bu. Biar semua tidak bertambah rumit. Ini demi kepentingan bersama.”

Masalah kecil? Kekeluargaan? Kepentingan bersama? Suhartini bertambah pusing dengan semua itu. Ia semakin tak paham dengan cara berpikir orang-orang itu. Dimana hati nurani mereka, pikirnya. Kenapa mereka tidak tahu bahwa hati yang luka, harga diri yang tercoreng tak bisa disembuhkan begitu saja dengan uang. Apakah itu lima belas juta atau bahkan beratus-ratus juta sekalipun. Mereka sungguh orang-orang yang sinting. Apa menurutnya hanya orang-orang berduit yang punya harga diri. Apa menurutnya hanya orang-orang berpakaian seragam atau berjas perlente yang punya nama baik. Apakah orang-orang kecil seperti dia memang tak punya harga diri dan tak layak dihargai. Apakah orang-orang kecil seperti dia, yang janda, yang beranak gila, tak berhak punya ataupun membela harga diri. Apakah orang-orang seperti dia bukan manusia. Ia semakin tak paham apa yang ada di otak para bajingan itu. Apakah mereka sudah gila. Atau ... dia sendiri yang sedang beranjak gila??

Suhartini meracau. Mulutnya komat-kamit. Tapi tak terdengar satu kata pun. Ia berusaha bicara untuk mencerca orang-orang itu, tapi kata-katanya tak pernah keluar. Kata-kata yang kini berkecamuk di hatinya tersumbat oleh kerongkongannya yang kering. Dan kata-kata itu juga tertahan oleh dadanya yang kembali sesak. Hanya sorot matanya yang semakin tajam. Beberapa detik kemudian Pak Lurah menghampirinya, berusaha meluruhkan emosi suhartini.

Ia mengambil sebuah kursi, mendekatkannya ke samping kanan Suhartini. Tangan kanannya mencoba menggapai pundak kanan Suhartini, menepuk-nepuknya sambil tersenyum. Ia berbisik.

“Begini lho, Bu. Saya rasa semua ini akan semakin sulit jika harus diperpanjang. Posisi Ibu sendiri sangat lemah. Ibu tak mungkin melawan Pak Bowo yang kaya raya itu. Ia bisa membeli apa saja; pengacara, polisi, pengadilan. Ia juga bisa membungkam mulut para warga kampung supaya tidak menjadi saksi dalam kejadian itu. Tapi itu semua tak perlu dilakukan andaikan Ibu mau berdamai. Sekarang yang terpenting bagaimana Ibu merawat Maya. Dan lima belas juta rupiah itu rasanya sangat cukup. Selain itu saya sebagai kepala desa juga tidak mau nama baik desa ini tercoreng dengan masalah ini. Desa ini kan sudah kadung dikenal sebagai desa yang bersih, aman, tentram, guyub dan rukun. Jadi saya harap ibu bisa mengihlaskan semua ini. Kami sebagai wakil pemerintah desa juga turut prihatin dengan musibah yang menimpa Ibu. Kami ikut menyesal.”
Suhartini diam saja. Ia tak memberi respon apapun atas perkataan pak lurah tadi. ia rupanya sibuk dengan perasaan yang berkecamuk di hatinya sendiri. Perasaan yang teraduk-aduk antara rasa muak, benci, dan dendam. Sejenak pak lurah memandang orang-orang dalam ruangan itu, memberi isyarat dengan kedipan mata, lalu melanjutkan perkataannya.

“Baik, Bu. Sekarang kami semua mohon pamit. Uang itu kami tinggalkan di atas meja. Ibu bisa menghitungnya sendiri. Tapi ada yang harus ibu ingat, dan kami anggap ini kesepakatan kita malam ini; tak pernah terjadi apa-apa di sini. Tak pernah terjadi apapun pada Ibu. Tak pernah terjadi apa-apa pada Maya. Tak pernah terjadi apa-apa di kampung ini. Dan tak pernah terjadi suatu apapun malam ini. Ingat itu ya, Bu. Biar kampung kita damai.”

Satu persatu mereka beranjak pergi. Suhartini kini sendiri dalam lengang. Rumah ini terasa semakin tua dan rapuh. Malam semakin purba. Hanya nyanyian angin menerpa dedaunan dan suara-suara binatang malam mengabarkan kesedihan. Langit tampak pucat dan rembulan masih saja tampak separuh. Hanya hati yang perih yang bisa menangkap bekunya malam ini.

Apa yang terjadi pada Suhartini kemudian? Entahlah. Saya sendiri juga tidak tahu. Mungkin kini ia menangis meratapi nasib. Atau ia malah mendendam dengan orang-orang brengsek itu. bisa juga sekarang ia diserang seribu kunang-kunang. Ia kembali melihat kupu-kupu beterbangan di setiap sudut ruangan, lalu hinggap di jendela rumah, di pintu, di langit-langit, di meja, di sekujur tubuhnya.

Malam ini mungkin ia sedang bermimpi menghajar para bajingan yang baru saja menyatroni rumahnya. Mungkin.


Malang, 29 Nopember 2005.

Tidak ada komentar: