Selasa, 15 Maret 2011

Nenek di Beranda

Rumah itu tergolong besar jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain di sekelilingnya. Maklum, di samping karena penghuninya memiliki keluarga yang besar mereka juga tergolong keluarga kaya. Meski saat ini rumah itu tampak sangat sepi karena ditinggal hampir seluruh penghuninya.

Sudah hampir 10 tahun rumah itu sepi. Tak ada suara canda tawa, pertengkaran, atau tangis bayi. Yang tersisa hanya lengang. Hanya seorang nenek tua yang tak pernah beranjak dari beranda setiap harinya.

Sejak pagi-pagi sekali ia sudah mruput berada di sana, memandang kabut yang menyeruak kegelapan dan membelahnya pelan-pelan. Sepertinya ia merasakan kabut-kabut itu menelusup di sela-sela pori-pori kulitnya dan menjalar melalui urat-urat di bawah kulit dan menembus jantungnya.
Tapi ia tak pernah kedinginan. Di sampingnya, di atas meja kecil ada secangkir kopi panas yang akan menghangatkan seluruh tubuhnya. Kehangatan yang ia dapatkan dari secangkir kopi panas itu selalu mengingatkannya pada suaminya yang telah lama meninggal. Ia merasakan lelaki yang dicintainya itu tak pernah mati. Ia hanya singgah di tempat lain yang lebih nyaman dan sedang menunggunya untuk menemani hidupnya sebagaimana pernah dirasakan di sini.

Ia ingat janji terakhir suaminya: jika saatnya tiba aku akan datang untuk menjemputmu. Mungkin aku akan datang pada pagi-pagi buta atau tepat di petang hari ketika senja menghilang terurai kegelapan. Jika kau lihat seekor kuda putih ditunggangi seseorang yang menyeruak di antara kabut-kabut putih tebal, itulah aku yang menjemputmu. Aku akan berbagi tempat denganmu di sorga.
Ia ingat betul janji terakhir itu. Dan sejak saat itu, usai jasad suaminya dikuburkan, ia rajin sekali mruput pagi-pagi duduk di beranda sampai petang menunggu sang penjemput yang akan membawanya ke sorga; tempat yang ia bayangkan sebagai terindah dari neraka kesepian yang ia diami saat ini.

Anehnya, tak ada yang peduli dengan perilaku nenek tua itu. Ketika pertama kali ia mruput di pagi-pagi buta duduk di beranda memandang kekosongan hingga petang menghapus garis-garis senja, orang-orang menganggapnya sedang mengakrabi rasa kehilangan. Siapapun mafhum, meski telah disadari bahwa seseorang mesti pergi, namun toh banyak yang tak bisa percaya begitu saja bahwa saat itu benar-benar telah tiba. Dan rasa kehilangan itu sendiri menjelma menjadi penyesalan yang kacau antara tidak bisa menerima dan pengharapan yang sia-sia bahwa semua itu hanyalah mimpi belaka.

Tapi perasaan itu tidak berlaku bagi si nenek. Ia sadar betul bahwa suaminya betul-betul telah pergi untuk menghadap Tuhan, menjemput keabadian. Ia sama sekali tidak menangisi kepergiannya karena kehilangan, tapi ia menangis kerana penyesalan mengapa orang yang dicintai pergi tanpa mengajaknya serta. Padahal, dulu mereka telah berjanji untuk sehidup semati.
Karena itulah usai subuh ia akan cepat-cepat beranjak ke beranda untuk menelisik pada gelap yang rapat terselimut kabut, untuk melihat kalau-kalau ada seekor kuda putih yang ditunggangi seseorang akan menyeruak di antara kabut yang berlaksa-laksa dan menghampirinya. Ia sudah sangat siap dengan saat itu.

Namun, sudah hampir 10 tahun rutinitas itu dilakukan tapi yang ditunggu belum juga datang. Namun ia tak pernah bosan. Pengharapannya lebih besar dari kejenuhan yang mungkin ditimbulkan dari sebuah rutinitas. Sedangkan orang-orang awalnya bertanya tak adakah sesuatu yang lain yang bisa dilakukan perempuan tua itu selain duduk-duduk di beranda meratapi kesepian. Namun akhirnya mereka tak peduli. Mereka menganggap tak ada gunanya bertanya-tanya pada sesuatu yang tak penting seperti perilaku seorang nenek tua.

Memang, nenek itu tak memiliki sesuatu yang lain untuk dilakukan. Segala kebutuhan sehari-hari telah dipenuhi oleh anak-anaknya. Meski tak ada bersamanya, namun anak-anaknya selalu mengiriminya uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedang yang mengerjakan semuanya, termasuk membereskan urusan-urusan rumah dan melayaninya adalah pembantu yang dikirim oleh anak-anaknya. Justeru karena itu ia bosan. Ia ingin sesuatu yang lain: kehidupan.
Ia menganggap tak ada kehidupan lagi di rumah ini. Semua telah pergi. Hanya sepi yang barangkali hidup di rumah ini.

Karena itu, satu-satunya yang ia harapkan adalah kehidupan di tempat lain bersama suami yang selalu dicintainya. Ia menyadari kenyataan bahwa anak-anak yang telah dibesarkannya hingga mencapai kemapanan semua telah meninggalkannya. Hanya suami yang dicintainya yang abadi. Hanya suami yang dicintainya yang selalu menemani kesepiannya. Meski secara fisik tak hadir, namun janjinya menawarkan pengharapan yang indah akan cinta abadi. Cinta yang selalu memberi kehidupan di tengah situasi kematian yang mencekiknya.

Harapan dan cinta pada suaminya itulah yang menjadi daya hidupnya saat ini. Hanya suaminya, dan bukan anak-anaknya. Karena yang abadi adalah cinta berbalas cinta. Cinta yang seimbang dan tak pernah berkurang. Sementara anak-anaknya hanya menyadari bahwa mereka masih memiliki orang tua, tapi bukan berarti cinta yang besar yang mampu menawarkan kehidupan dan kebahagiaan.
Mungkin satu-satunya yang masih menghangatkan hubungan dengan anak-anaknya adalah hadirnya cucu-cucu yang lucu, lincah, dan menggemaskan. Merekalah yang seringkali diharapkan menjadi hiburan dalam hidupnya, memberi warna lain pada kesepiannya, dan menyempurnakannya ketika mereka harus pergi.

Tiba-tiba ia merindukan cucu-cucunya. Dan ia ingat bahwa hari ini salah satu cucunya yang dari Surabaya akan datang untuk liburan sekolah. Kemarin ia baru saja mendapat telepon dari salah satu anaknya yang tinggal di Surabaya yang akan mengantar cucunya liburan ke Malang.
Ia baru saja ingat ketika sebuah Honda Civic hitam memasuki pelataran rumahnya. Ia tak cukup memperhatikan kedatangan mobil itu sampai seorang anak kecil keluar dari mobil dan lari menghampirinya.

“Nenek.....”

ia tersadar dan segera menyambut cucunya dengan pelukan, lalu membawanya masuk. Di belakangnya kedua orang tuanya mengikuti.

“Mungkin kami tak akan lama. Kami hanya mengantar cucu nenek liburan di sini. Kayaknya ia sudah bosan setiap liburan sekolah diajak ke tempat-tempat wisata. Sesekali ia biar liburan bersama neneknya. Ibu jaga dia baik-baik ya.”

Begitulah. Dan nenek itu tak perlu banyak bicara. Rasanya tak perlu memberati orang yang tak ingin bersamanya.

Usai kepergian anaknya ia segera bercengkrama dengan cucunya itu. Ia membawa cucunya ke beranda, mengajaknya bermain, dan sesekali memandang kejauhan.

“Apa yang nenek lihat di sana?”

“Tidak apa-apa.”

“Tapi nenek terus memandang ke sana.”

“Suatu saat kau akan tahu.”

Begitulah setiap hari. Ia tak berubah dengan rutinitasnya. Sejak pagi buta sampai petang ia terus berada di beranda bersama cucunya.

Suatu saat cucunya pernah bertanya.

“Kenapa sih nenek selalu ada di sini dan terus memandang ke sana?”

Nenek itu tersenyum, lalu meraih cucunya dalam pangkuan.

“Nenek sedang menunggu seseorang.”

“Siapa?”

“Pangeran dari sorga.”

“Siapa?”

“Kakekmu.”

“Memang kakek di sorga?”

“Ya.”

“Nenek tahu?”

“Ia pernah datang dan bercerita pada nenek.”

“Apa yang diceritakan, nek?

“Banyak. Di antaranya disana ada kedamaian. Kita tak perlu menangis atau bersedih.”
Cucu itu berusaha mengerti.

“Memangnya kakek akan datang?”

“Ia sudah berjanji, dan pasti akan menepatinya. Ia akan menjemput nenek di sini, di beranda ini."

Sang cucu merasa tak ada lagi yang perlu ditanyakan. Dan sejak saat itu ia tak pernah bertanya lagi tentang kebiasaan dan perilaku neneknya itu.

Suatu pagi ketika cahaya matahari menerobos pintu rumah dan kaca jendela ia melihat neneknya tersenyum begitu bahagia. Wajahnya terlihat begitu cantik. Tak pernah ia melihat neneknya secantik ini. Di bola matanya ia melihat gumpalan kabut mengapung di antara air mata yang menggenang. Seperti sebuah telaga. Ia mencoba mendekat dan meraih tangan neneknya dan berharap nenek itu akan memeluknya. Namun tangan itu telah dingin dan kaku. Nenek itu tak lagi bergerak.


Malang, 20 Januari 2007

Tidak ada komentar: