Kamis, 26 Juni 2008

Tanggung Jawab Lelaki



Ridwan gelisah. Matanya tak bisa terpejam. Pikirannya melayang.
Hatinya gundah. Perasaannya kacau. Tak karuan. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Semua serasa buntu. Mentok.

Siang tadi ia bertemu Wati. Wanita itu menangis tersedu-sedu di pelukannya.

“Aku hamil, Wan.”

Ridwan tentu saja kaget. Ia tak pernah membayangkan apa yang dilakukannya selama ini bersama Wati akan berbuah janin. Padahal, ia tak pernah lupa memakai pengaman. Kalaulah sesekali lupa memakai pengaman, ia selalu memakai tips dari temannya untuk mengajak kekasihnya jalan-jalan atau berlari-lari agar sperma yang kadung merangsek ke rahim tak berhasil membuahi sel telur dengan baik.

Ia juga sudah mengamalkan tips-tips yang lain seperti menyuruh Wati minum Sprite, juga memakan makanan yang panas-panas di lambung seperti nanas, tape, nangka, durian, dan lain-lain. Tapi semua menyisakan kegagalan.

Dan Wati benar-benar hamil.

“Apa kamu yakin benar-benar hamil?”

“Betul, Wan. Aku sudah telat sebulan. Dan aku juga sudah pakai tester kehamilan dan hasilnya positif.”

Ridwan masih berusaha tak percaya. Tapi kalau ternyata benar Wati hamil, itu bencana baginya. Orang tuanya pasti akan marah besar, sampai-sampai ia akan diusir dari rumah.

“Dasar anak bejat. Tak punya moral. Tak punya iman. Tak punya otak. Jauh-jauh dikuliahkan dengan biaya yang tidak sedikit malah menghamili anak orang. Apa itu bagian dari kuliahmu di kampus?”

Ia tak akan bisa menjawabnya.

“Kamu pikir mencari uang itu mudah. Kamu pikir biaya sekolah itu murah. Dan kamu pikir bergaul dengan anak orang, apalagi lawan jenis tidak beresiko. Kamu telah membuat keluarga malu. Tidak saja pada orang tua gadis yang kau hamili, tapi juga pada masyarakat, lebih-lebih pada tuhan.”

Dan ia hanya mampu mendengar bapaknya nerocos ke sana kemari sambil menundukkan kepala. Ia tak akan sanggup menatap mata ayahnya karena ia sudah tahu seperti apa wajah orang tua yang marah itu. Mungkin akan lebih mengerikan dari setan gentayangan sekalipun.

Wan, bagaimana sekarang. Apa kau akan bicara pada orang tuaku? Aku tak sanggup, Wan. Kamu harus segera bertanggung jawab.

Ridwan tak bisa memberi jawaban. Yang ia lihat hanya ibunya yang meraung-raung penuh penyesalan dan kekecewaan.

Oalah, le... le.... Kok kebangetan kamu. Tega kamu mencoreng muka orang tuamu. Kenapa kau lukai perasaan ibumu ini. Kenapa kau nodai kepercayaan ibu selama ini. Padahal kami mengandalkanmu untuk mengangkat derajad orang tua. Kamu malah menghancurkannya.”

Bagian itulah yang mungkin akan membuat hatinya teriris-iris. Ia tahu ibunya sagat berharap banyak pada dirinya. Akan masa depannya. Masa depan yang akan mengangkat nama dan citra keluarga. Masa depan yang diidam-idamkan sejak lama dari anak semata wayangnya ini.

Ia seperti tak sanggup melihat raut wajah kekecewaan ibunya.

Ia merasa sangat berdosa.

Belum lagi jika ia membayangkan harus berhadapan dengan bapak dan ibunya Wati. Apa yang akan dikatakannya pada mereka. Apa pula yang akan dikatakan orangtua pujaan hatinya itu padanya.

Orang tua Wati pasti murka. Murkanya akan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibanding orang tuanya sendiri. Apalagi jika ia ingat bahwa keuda orang tua Wati sangat tidak menyukainnya.

Dasar anak setan. Sejak awal kami sudah tidak mempercayai kamu. Dari wajahmu saja kami tahu kamu bukan orang baik-baik. Matamu jalang. Perilakumu seperti bajingan. Dan sekarang kau perlakukan anakku seperti binatang. Kau hamili dia tanpa pernikahan. Dasar setan. Jika tak bertanggung jawab, akan kubunuh kamu!”

Dan ibu Wati akan menimpali.

Tapi jangan senang dulu. Itu tidak berarti kami merestui hubunganmu. Kamu memang harus bertanggung jawab atas tindakanmu. Kamu harus menikahi Wati. Jika anaknya sudah lahir, kau harus menceraikannya. Aku tak sudi punya menantu seperti kamu!”

Ridwan begidig juga membayangkan itu. Sejuta pertanyaan menrasuki pikiran dan haitinya. Haruskah ia berterus terang pada kedua orang tuanya. Juga pada kedua orang tua Wati. Atau lebih baik mengajak Wati lari. Pergi meninggalkan mereka semua. Tinggal di rumah saudara yang jauh dari kota, menikah dan melahirkan di sana.

“Wan, kamu harus bicara pada orang tuaku segera. Kamu musti bertanggung jawab. Jangan kau tunggu perutku ini semakin membesar. Aku bisa tambah malu.”

Wati selalu menangis setiap bertemu dia. Dia tak sanggung melihatnya menangis. Kekasihnya benar ia musti bertanggung jawab. Ia tak boleh lari. Kecuali ia rela disebut sebagai pengecut. Tapi Ridwan bukan pengecut. Ridwan laki-laki tulen. Dan salah satu kelelakian itu sudah dibuktikan pada Wati.

Otak ridwan masih berputar. Kebimbangan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan dulu. Hatinya masih gundah. Tapi ia juga tak tega jika ingat pada Wati. Ia amat mencintai Wati. Ia ingin membahagiakan Wati.

Maka setelah berhari-hari berpikir, menimbang, menakar, menghitung, ia tiba pada satu tekad. Ia akan bicara pada bapak ibunya. Ia akan mengakui semua perbuatannya. Ia juga akan minta orang tuanya melamarkan Wati untuknya. Ia sudah siap. Bahkan jika orang tuanya menghardiknya dan menolak melamarkan Wati untuknya. Ia benar-benar sudah siap. Ia juga sudah siap menghadapi orang tua Wati sendiri jika nanti orang tuanya benar-benar tak mau menolongnya. Bahkan, ia sudah siap untuk melarikan Wati jika semua keluarga tidak menerima pertanggungjawabannya.

Dan saat itu tiba. Mereka bertiga telah duduk menghadap satu meja. Ridwan tertunduk dan sedikit ragu. Bapaknya menengadah sambil menelisik wajah anaknya yang resah. Sementara ibunya berusaha menerka-nerka apa yang penting dari pertemuan ini.

“Pak, Bu, maafkan Ridwan. Ridwan menghamili Wati.”

Apa???!” teriak bapak dan ibunya hampir bersamaan. Ridwan kaget. Tubuhnya gemetar. Kepalanya semakin merunduk, nyaris menyentuh meja. Ketakutan tiba-tiba menyerangnya. Ia seperti tak sanggup mendengar yang selanjutnya. Sampai ia mendengar tawa bapaknya menggelegar. Ha....ha.....ha.....ha.....

Ridwan menengadah.

“Bagus! Itu bagus! Itu baru anak Bapak. Dulu Bapak juga menghamili Ibumu waktu orang tuanya tak menyetujui hubungan kami. Selamat, Nak. Besok Bapak akan melamarkan Wati untukmu.”

Ridwan bengong. Mulutnya menganga. Ia tak tahu harus bahagia atau kecewa.....


Malang, 18 Maret 2007

Tidak ada komentar: