Kamis, 26 Juni 2008

Perempuan Itu Menyulam Kesedihan

Malam itu hujan baru saja reda. Dingin menelusup di pori-pori setiap tembok rumah menembus kamar-kamar yang gelap. Seorang perempuan separuh baya sedang duduk di balik jendela, mengintip dari garis-garis embun yang dihapus oleh jari-jari yang gemetar. Pandangannya menelisik mencari-cari sesuatu yang mengkhawatirkan. Barangkali akan ada serdadu yang tiba-tiba muncul dan mengintip dari luar jendela. Atau akan ada segerombolan orang yang mengendap-ngendap di depan dan di samping kiri kanan rumah sambil mengokang senjata seperti yang selalu dilihatnya dalam mimpi yang tidak sekali dua kali. Seakan ia telah menangkap suatu isyarat bahwa suatu saat mereka akan menjemputnya juga, menyeretnya entah ke mana, dengan mata tertutup tentunya. Semua seakan begitu nyata seperti ia sedang menyaksikan sendiri tubuhnya terpapah oleh bayangan-bayangan yang diam menuju pekuburan yang telah disiapkan khusus untuknya. Ia telah menangkap isyarat itu.

Malam semakin larut, dan mata perempuan itu tak pernah terpejam. Selalu ada yang menjaga kewaspadaannya, entah itu ketakutan yang semakin menggunung, atau hanya was-was yang tak akan pernah reda. Udara beku menggenapkan semuanya. Juga melengkapi kedukaannya.

Kenapa mereka belum datang juga. Padahal ini adalah hari yang ketujuh. Apakah mereka juga takut seperti aku.”

“Aku ingin tahu kemana mereka membawamu dulu dan apa yang telah mereka lakukan padamu hingga aku bisa memaafkan apa yang telah digariskan padamu. Meski aku tahu dendam ini tak mungkin hilang setelah mereka merampasmu dari hidupku.”

Angin berhembus menerpa kaca-kaca yang basah. Daun-daun tua dari pohon enau berjatuhan, sebagian terbang entah sampai mana. Mungkin sampai pintu sorga.

kau tahu, sayang, tiga hari setelah kepergianmu ada segerombolan orang, mungkin empat atau lima, mengetuk pintu tepat di tengah malam. Belum sempurna aku membuka pintu mereka sudah menyeruak masuk dan sebagian buru-buru menutup pintu.”

Di mana dia sembunyikan dokumen-dokumen itu?”

“Dokumen?”

Jangan berlagak bodoh. Kami tahu kau terlibat.”

“Terlibat apa? Dan siapa kalian?”

Mereka tidak menjawab. Beberapa orang kemudian masuk ke dalam kamar dan mengobrak-abrik seluruh isinya. Mereka juga membongkar lemari pakaian, laci, bufet, bahkan seprei dan kasur-kasur tempat tidur kita. Mereka tak menyisakan sedikitpun benda-benda di rumah ini untuk tidak di jamah. Mereka seperti perampok yang sedang kesetanan dan mengoyak-ngoyak hidup kita.

Ingat, perempuan tua, hari ini kami tidak menemukan apa-apa. Tapi kami akan kembali besok tepat di tengah malam seperti ini. Kami beri satu kesempatan padamu untuk menyerahkan dokumen-dokumen itu. Kalau tidak, tiga hari lagi kami akan mengirim mayat suamimu.”

Mereka lalu beranjak pergi tanpa lupa menutup pintu. Angin yang menelusup melalui pintu ketika mereka beranjak pergi menancapkan paku-paku di kakiku, membuatku tak bisa beranjak dari ketakutan. Siapa mereka yang meneror kita di malam-malam yang gelap. Dan apa yang terjadi padamu, suamiku, hingga mereka datang kepadaku malam-malam dan mengoyak-ngoyak seluruh isi rumah ini.

Perempuan itu ingat, sehari sebelum pergi suaminya menitipkan sesuatu; sebungkus amplop tebal entah berisi apa yang dimasukkan ke dalam plastik hitam dan kemudian ditalinya dengan rafia.

Kau tak perlu tahu isinya. Yang jelas ini adalah bagian dari perjuangan kita, mempertahankan hidup, melawan segala bentuk kedhaliman yang diatasnamakan kebaikan bersama dan ketidakadilan yang diatasnamakan kepentingan publik. Kuburlah ini dipekarangan belakang, di bawah pohon pisang, dan jangan beri tahu siapapun untuk kepentingan apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Kau paham?”

Perempuan itu mngangguk, lalu suaminya memeluk dan mengecup keningnya.

“Aku pasti kembali, dalam kondisi apapun, karena kita telah berjanji untuk selalu bersama sampai maut merenggut kita. Aku mencintaimu.”

Laki-laki itu berlalu. Maka sejak itu, ia selalu duduk di balik jendela, melihat di kejauhan kalau-kalau suaminya segera sudah datang.

Kabut menggerayangi kota. Tak ada apapun yang turun ke bumi di malam-malam yang gelap seperti ini. Dingin selalu mengirimkan jarum-jarum halus yang menusuk pori-pori kulit, menembus selimut-selimut tebal. Musim selalu datang dengan kebisuan.

Malam itu tiba-tiba pintu digedor lagi. Perempuan itu tergeragap. Itu pasti suaminya yang datang. Ia seperti melihat bayangan yang melesat dari balik pohon-pohon di halaman, tapi bayangan itu menghilang. Mungkinkah itu suaminya? Ia segera beranjak menuju pintu depan. Dan ketika pintu itu di buka beberapa laki-laki menyeruak masuk ke dalam dan menyeret perempuan itu ke atas kursi.

“Kami telah berjanji untuk datang lagi malam ini, dan kami menepatinya. Sekarang di mana dokumen-dokumen itu?”

perempuan itu membisu. Napasnya tersengal-sengal karena ketakutan. Dadanya sesak.

Gerombolan laki-laki itu tak banyak bertanya lagi. Mereka segera mengobrak-abrik seluruh isi rumah; kamar, meja, laci, bufet, dan tempat-tempat tidur. Mereka bahkan menghancurkan benda-benda yang ada di dapur dan membuatnya porak-poranda. Setelah yakin tidak menemukan apa-apa mereka segera kembali kepada perempuan itu.

“Baiklah, waktu kami sudah habis. Dan kami tidak akan menunggu sampai tiga hari lagi untuk membawa suamimu kembali, tapi tidak dengan kesehatan, bahkan mungkin tidak dengan kehidupan.”

Lalu seorang laki-laki memberi isyarat pada temannya yang kemudian bergegas keluar, dan beberapa menit kemudian menyeret sebongkah tubuh yang lunglai dan melemparkannya pada perempuan itu. Perempuan itu menjerit dan bergegas memeluk seonggok tubuh lunglai itu sambil menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba sekujur tubuhnya menjadi ngilu. Dan segerombolan orang itu lalu menghilang, seperti ditelan malam.

Perempuan itu terus menangis dan meratap sampai air matanya kering dan suaranya tidak keluar lagi. Hanya sesenggukan di sela-sela napas yang tersengal yang tersisa dari perempuan tua itu. Lalu... ia lunglai tak sadarkan diri.

Malam semakin larut. Embun masih menggumpal di kaca-kaca jendela. Perempuan itu menggerakkan jari-jarinya yang rapuh membuat garis-garis di antara embun di kaca jendela dan menerawangkan pandangannya jauh, jauh di sudut kegelapan. Ia tersenyum dan memandang wajah teduh yang ada di pangkuannya. Ia seperti melihat sorga ada di hadapannya, memancarkan cahaya dari wajah suaminya yang penuh cinta itu. Ia merasa bahkan ketika suaminya mati cintanya tak pernah sirna. Tubuh yang mulai membusuk itu seakan menawarkan aroma kesturi yang ditebarkan dari bilik-bilik sorga. Ia seperti menjadi pengantin kembali, yang diarak seribu malaikat dan sejuta bidadari. Dan tuhan sendiri yang menikahkannya. Ia bergumam:

Sebentar lagi mereka akan datang menjemputku. Tapi aku tak akan pergi sendiri, aku akan membawamu turut serta. Kita akan pergi dari dunia yang laknat ini menuju sorga. Aku dengar mereka telah menyiapkan ranjang-ranjang yang indah untuk kita tidur di sana. Dan katanya kita bisa bermimpi apa saja yang kita inginkan. Dan aku sudah memesan beberapa mimpi tentang kebahagiaan yang tak perlu kita raih dengan darah dan kekerasan. Kita bisa mendapatkan kebahagiaan itu tanpa harus membelinya dengan perjuangan yang tak pernah bisa kita pahami mengapa harus dilakukan. Kita akan mendapatkannya sayang. Aku sudah mendapatkan jaminannya. Tuhan sendiri yang bertaruh.”

Maka malam itu segera menjadi tua. Lalu kabut datang menyelimuti kota, menidurkan rumah-rumah yang beku, membelai dedaunan yang basah, dan mengirimkan mimpi-mimpi pada bumi. Kabut semakin tebal. Tak ada ruang bagi cahaya malam untuk menembusnya. Dan perempuan itu tahu inilah saatnya. Itulah isyarat yang ditunggu-tunggu.

Mereka telah datang, sayang. Mereka telah siap menjemputku. Mari kita berbenah. Kita akan menuju ranjang-ranjang itu. Kita akan menuju mimpi-mimpi indah itu. Lihat, bahkan tuhan turut serta turun bersama malaikat-malaikat. Ini suatu kehormatan, sayang. Ini anugerah. Mari, sayang. Mari kita bersiap-siap.”

Perempuan itu segera membetulkan posisi tubuh suaminya hingga ia betul-betul sempurna memapah tubuh yang lunglai dan mulai membusuk itu seperti ia sedang membopong dan menidurkan bayi kecil. Ia memandanginya sekali lagi, lalu tersenyum, lalu mengecup bibirnya, bibir yang tak lagi bisa merngatup. Ia lalu meraih sebotol racun yang sudah disiapkan dan menuangnya ke dalam gelas yang membeku. Perlahan-lahan ia mengangkatnya, mendekatkannya ke beibir sambil mencium aromanya. Ia tersenyum lagi ketika memandang wajah suaminya.

“Untuk kebebasan, sayang. Untuk kedamaian. Untuk keindahan.”

Perempuan itu lalu meneguknya.

Malam semakin rapuh. Dan dunia semakin lelap dengan mimpi-mimpinya. Sorga sedang menunggu kekasih-kekasihnya, yang kesepian..., yang sedang berduka.


Malang, 24 Januari 2006

Tidak ada komentar: