Di pintu sorga ini aku menunggumu, seperti janji kita. Udara lengang. Jagad tenang. Suara-suara hilang. Bahkan tak kudengar gemerisik angin. Juga langkah-langkah kaki. Mungkinkah tak ada manusia yang akan masuk sorga.
Aku jadi bimbang. Ini adalah hari yang ketujuh. Dan itu berarti tujuh ribu tahun waktu dunia. Dan kau belum juga tiba di sini. Mungkinkah kau tersesat? Atau kau mampir di neraka sejenak untuk melihat-lihat barangkali ada aku di sana, sedang tidur, atau main poker. Mungkin juga kau sempat masuk ke sana. Meneliti inci demi inci jalan yang kau tapak. Ruang demi ruang, bilik demi bilik, bahkan gerombolan demi gerombolan orang yang sedang berdiskusi atau bermain catur sekedar menghabiskan waktu dan kejenuhan. Tapi tak kau temukan aku.
Ha.. ha, aku memang di sana sebelumnya. Karena tahu kau tak mungkin mendahuluiku. Dan aku masih ingat betul kapan dan dimana kita harus bertemu. Maka dari itu aku menghabiskan beberapa hari di neraka itu untuk sekedar menyapa teman-teman yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku bertemu kyai-kyai khos yang dulu sempat bersitegang bersama masalah fikih dan hukum-hukum terbaru, juga masalah liberalisme yang cukup memberi ancaman bagi mereka. Juga masalah partai-partai politik Islam yang harusnya berjuang menegakkan nilai dan syariat Islam melalui perjuangan politiknya. Mereka semua menyapaku dengan senang seakan telah lama menungguku untuk melengkapi diskusi-diskusinya. Tapi aku hanya menyapa mereka sejenak, dan kukatakan pada mereka bahwa aku sedang buru-buru karena punya janji dengan kekasihku di depan pintu sorga. Dan mereka kecewa.
Tapi itu hanya alasanku. Aku tahu kau tak mungkin buru-buru. Kau mungkin sedang menyiapkan sejuta alasan kepada suami dan anak-anakmu untuk bertemu denganku (seperti yang kau lakukan dulu di dunia ketika ingin bertemu denganku). Karena itu, aku masih ingin berjalan-jalan di istana neraka ini. Oh, di sana. Di bilik lantai dua aku bisa melihat temanku sesama seniman yang dulu pernah pameran bersama sedang melambai-lambai memanggilku. Gila, gayanya tetap sama seperti dulu. Hanya sekarang ia agak perlente dengan memakai dasi. Lalu aku hampiri dia dan katanya ia menjadi dewan kehormatan seniman di neraka. Lalu di mana yang lain, tanyaku. Katanya mereka sedang menerima undangan untuk berdiskusi bersama di sorga menyiapkan satu simposium dan lokakarya yang membicarakan masalah strategi kebudayaan akhirat. Dan kabarnya di sorga akan dibangun satu kota kesenian yang akan menampung segala bentuk, ide, dan kemungkinan-kemungkinan ekspresi baru yang belum pernah ada di dunia. Pokoknya eksperimental. Di sana katanya akan diciptakan satu genre kesenian baru dan satu karya seni besar yang bercita rasa tinggi yang memang hanya ada dan bisa dicapai di akhirat. Satu masterpiece yang akan disandingkan dengan masterpiece-masterpiece tuhan. Wah, dahsyat sekali. Aku jadi ingin buru-buru kesana. Tapi, kenapa aku tidak diundang?
Ah, rasanya memang tidak perlu. Lagi pula aku sedang punya janji dengan kekasihku.
Aku masih menunggumu. Dan udara masih lengang. Angin juga belum berhembus. Suara-suara juga belum tiba. Lalu aku melihat dari kejauhan ada serombongan kereta sedang menuju ke sini. Semoga kau ada di antara mereka. Lalu kulihat beribu-ribu kereta datang lalu pergi yang disambung dengan beribu-ribu kereta lagi yang kemudian pergi dan seterusnya. Mereka menurunkan bidadari-bidadari yang akan bekerja di sana. Mereka semua sangat cantik, bahkan tak pernah terbayangkan sebelummya. Tubuh-tubuh yang mulus tanpa sehelai pakaian, aroma wangi dari jasad-jasad yang menari. Payudara-payudara mungil yang kemerah-merahan, tangan-tangan yang lembut dengan jari-jari yang lentik dan kuku-kuku yang warna-warni. Kaki-kaki itu seperti kaki-kaki rusa dan pantat-pantat yang menyembul berwarna ungu dan bergeyal-geyol seperti kuda betina. Mareka semua... sungguh indah dan menakjubkan. Seperti yang kubanyangkan dari mimpi-mimpi yang terkutuk; tentang dirimu.
Tapi tak kutemukan kau di sana.
Lalu semua menjadi hening kembali, sehening hatiku yang menunggumu.
Sejenak waktu berlalu. Mataku jadi berat. Keheningan masih menyelimuti hatiku. Tiba-tiba malaikat yang berjaga di belakangku menghampiri.
“Sedang menunggu siapa?”
“Kekasihku.”
“Tapi istrimu sudah ada di dalam.”
“Kekasihku. Bukan istriku.”
Malaikat itu mengangguk.
“Oh, ya, tadi dia menanyakanmu.”
“Siapa?”
“Istrimu.”
“Lalu?”
“Aku bilang namamu belum terdaftar.”
“Lalu?”
“Ya... katanya ia akan langsung menanyakannya pada tuhan.”
Malaikat itu buru-buru kembali ke tempatnya. Ada yang mencarinya dari dalam sorga. Kemudian ia kembali lagi.
“Siapa nama kekasihmu?”
“Maia.”
“Istrimu?”
“Wulan.”
“Mereka pernah bertemu?”
“Tidak.”
“Kau beruntung.”
“Aku selalu berdoa semoga mereka tidak pernah bertemu. Dan tuhan mengabulkan.”
“Tidak. Tuhan tidak akan mendukung orang-orang yang berkhianat.”
Dasar malaikat sok tahu. Tahu apa dia tentang cinta. Tahu apa dia tentang kesetiaan. Dan tahu apa dia tentang pengkhianatan. Kurang ajar. Ingin aku tonjok mulutnya yang lancang itu. Tapi percuma saja. Mereka diciptakan memang tanpa perasaan. Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya cinta, bagaimana rasanya sakit, dan bagaimana rasanya terluka. Mereka adalah makhluk statis. Tak punya selera, tak punya cita rasa.
Aku kembali mengingatmu. Kenapa kau belum datang. Apa kau masih belum menemukan alasan untuk pergi beberapa saat saja menemuiku. Atau kau masih bercumbu dengan suamimu agar ia tak curiga bahwa kau akan segera menanggalkan ingatan dan perasaanmu padanya sejenak untuk cinta yang paling rahasia dari dasar hatimu dan paling perih kepadaku. Aku tahu semua itu dan sangat bisa memahaminya karena bagaimanapun ragamu adalah miliknya. Dan aku tak akan pernah terluka karena itu, karena aku tahu kau akan menyimpan orgasme itu hanya tercapai denganku. Aku tahu karena cintamu sangat dalam, sedalam sepimu. Aku tahu.
Lalu tiba-tiba menjadi sepi. Kosong.
Detik berlalu. Dan di akhirat ini waktu tak pernah terburu-buru, atau cepat menghilang dan meninggalkan luka di belakang. Seperti yang sering kita lalui di dunia dulu. Dan aku terus menunggumu, sampai detik yang berat ini.
Angin lalu berhembus. Lembut. Seakan membelai kesedihan-kesedihan yang mungkin masih tersimpan di hati para pecinta. Dan aku, seperti diketuk oleh kegamangan yang melumpur, yang kemudian menggenang menjadi duka entah dalam bentuk apa. Karena kau tak datang-datang.
Lalu dari penjuru angin arah selatan aku melihat sayup-sayup dengan suara seperti menderu, dengan asap-asap yang mengepul di bawah roda, kereta yang berhias emas dan beratap perak melaju dengan kecepatan cahaya dan tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Udara menggumpal. Asap putih mendera cahaya. Mencipta pelangi yang buram. Lalu sesosok laki-laki menyembul dari balik keajaiban itu dan tersenyum kepadaku.
“Sudah lama menunggu?”
“Sudah.”
Aku menjawabnya ragu-ragu, karena aku tak pernah mengenalnya. Dan mengapa ia bisa tahu yang sedang kulakukan.
“Seberapa lama?”
“Tujuh hari.”
“Oh, tujuh hari. Tujuh waktu. Penantian yang panjang. Pasti sangat berarti bagimu.”
“Sangat. Separuh dari jiwa.”
“Separuh dari jiwa. Oh, luar biasa. Siapa namanya?”
“Maia.”
“Maia. Nama yang indah. Nama yang akan selalu menggema di hati orang-orang yang mengenalnya. Wajahnya pasti cantik. Wajah yang akan meninggalkan perasaan ganjil yang bisa dinikmati seseorang. Dan pasti pula tubuhnya sangat indah, seindah kenangan yang mungkin terjejak oleh mereka yang telah menikmatinya. Dan cintanya, cinta yang rahasia yang hanya bisa tunjukkan pada kekasih terdalam yang pasti bisa memabukkan orang yang dicintainya, dengan rahasia yang tak pernah terungkap, kecuali oleh tangis-tangisnya di tengah malam, yang sunyi, yang disembunyikannya dari suaminya sehabis bercinta. Karena ia selalu membayangkan kekasihnya itu, bahkan ketika bercinta dengan suaminya sendiri. Kekasih yang indah.”
Siapa orang ini yang dengan halus menampar-nampar jiwaku, mengoyak-ngoyak kebohonganku. Kurang ajar.
“Anda siapa?”
“Aku orang yang sepanjang hidup menemani kekasihmu. Mendampingi malam-malamnya yang sunyi yang selalu disembunyikan dari suaminya. Menyelimuti kewas-wasan hatinya karena kebohongan yang dipendam bertahun-tahun. Membiarkannya menjaga cinta yang rahasia. Dan selalu menjaga kewaspadaannya dari kemungkinan untuk terungkap rahasianya. Aku orang yang memberinya dua anak yang lucu, yang selalu dibelainya dengan mata yang sedih, yang menyesalkan mengapa mereka tidak lahir dari persatuan cintanya dengan kekasih itu.”
Aku terperanjat.
“Maaf. Aku tidak bermaksud merampasnya darimu.”
“Oh, tidak. Kau tidak merampasnya. Istriku yang datang kepadamu, dan kau memeluknya.”
Sejuta gejolak berhamburan di dadaku, hingga sesak menyerang. Orang ini menusukku dengan tajam, tepat di pusat ketidakberdayaanku. Aku tak bisa mengelak. Ulu hatiku terasa pecah. Dan jiwaku terbentur-bentur.
“Di depan pengadilan, yang dipimpin langsung oleh tuhan, ia mengakui semuanya. Ia menangis karena menyesal mengapa tidak cukup hanya satu cinta. Ia menyesal karena membiarkan bunga liar tumbuh di hatinya. Ia menyesal mengharapkan bunga itu selalu mekar dan hanya akan dipetik menjelang kematiannya. Ia menyesal menyesali anak-anaknya yang tak menyerupai bunga itu. Dan ia sangat menyesal kenapa bunga-bunga itu tumbuh dengan duri yang kian hari kian tajam, yang melukainya di malam-malam yang gelap. Yang mengoyak-ngoyak jiwanya ketika anak-anaknya ingin dipelukan ayahnya dan dibelai ibunya. Yang menusuk-nusuk hidupnya karena telah membuat janji bertemu di pintu sorga. Lalu di mana suaminya akan ditinggalkan. Di mana anak-anaknya akan dititipkan. Dia menyesal.”
“Tapi dia tak bisa membunuh bunga-bunga itu begitu saja. Bunga yang sudah terlanjur memekar dan menancapkan akar-akar yang kuat di hatinya. Bunga yang semakin lama semakin liar. Karena itu ia memintaku datang kepadamu. Menyampaikan maafnya atas janji yang tak pernah ingin ia ingkari karena telah ditunggunya berjuta masa. Dan ia menitip salam untukmu semoga kau tidak layu di depan pintu ini, hingga ia benar-benar pergi; dari hatimu. Ia ingin menebus kesalahannya kepadamu, kepadaku, kepada anak-anak, juga kepada isterimu, dengan hidup di antara sorga dan neraka. Di antara kebimbangan yang abadi. Di antara batas yang tak akan memberi warna, memberi cahaya, juga cinta. Dan aku akan menemaninya, sebagaimana yang kulakukan sepanjang hidup. Karena aku mencintainya. Sangat mencintainya.”
Tiba-tiba tubuhku melumpuh. Kaki-kakiku seok. Urat nadiku patah. Tulang-tulangku hancur. Dan jiwaku ... perlahan-lahan menjadi abu. Aku benar-benar menjadi layu, bahkan sebelum laki-laki itu pergi.
Waktu menghukumku, hingga menjadi kesia-siaan.
Lalu laki-laki dengan kereta itu tiba-tiba sudah tidak ada. Lenyap secepat kilat. Hanya lengang, tak berkesudahan. Lalu menjelma hampa. Sorga ini pun tiba-tiba sirna.
Malang, 26 Januari 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar