Kamis, 26 Juni 2008

Allah Maha Pengasih, Ibu

Seluruh keluarga telah berkumpul. Sejak kondisi ibu semakin kritis anak-anak yang tersebar di luar kota telah berada di Malang semua. Dokter menyatakan kanker payudara ibu tak mungkin lagi disembuhkan. Ia sudah mencapai stadium empat. Semua sudah terlambat. Kini tinggal menunggu waktu.

Kakak perempuanku, Nina, menangis tersedu-sedu di samping ibu. Sementara kakakku yang kedua, Dino, terus membacakan Yasin agar ibu mendapat keringanan dari rasa sakit yang dideritanya saat ini dan dimudahkan jalannya jika harus segera menghadap yang kuasa. Sementara aku sendiri terus membimbing ibu agar bisa mengucapkan kalimat tahlil La Ilaha Illa Allah.

Namun sampai tiga jam ini ibu masih saja mengerjang-kerjang. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di kerongkongannya. Kak Nina terus menangis sampai air matanya membasahi lengan ibu. Kak Dino terus saja membacakan Yasin meski sudah sembilan kali ia membacanya. Dan aku terus membimbing ibu agar bisa mengucapkan kalimat tahlil itu. Namun rupanya ibu masih kesulitan mengucapkan apapun. Seperti ada seribu jarum yang nyendat di tenggorokannya. Tapi sorot matanya seperti ingin mengungkapkan sesuatu.

Aku tahu betul ungkapan sorot mata itu. Mata yang kini sedang berkaca-kaca itu seperti sedang berbicara banyak, namun semua berkelindan seperti rajutan benang yang tak lagi bisa terurai dengan benar. Tapi kupastikan aku mengerti semuanya.

Pasti aku mengerti. Aku bisa membaca semuanya. Tentu saja karena ibu pernah berbicara padaku tentang apa yang membuatnya resah selama ini. Apa yang membuat jiwanya seperti memikul beban yang kian hari kian berat. Aku tahu ibu menanggung beban dosa yang tidak bisa dimaafkannya sendiri. Ibu telah mengakuinya sendiri.

Dan karena beban dosa itulah mengapa ibu terus menyembunyikan rasa sakitnya dan tak mau diperiksakan ke dokter untuk mengetahui perkembangan penyakit kankernya. Sampai suatu saat salah satu payudaranya, yang kiri, telah membusuk akibat kanker ganas yang menggerogotinya.

Barulah ketika itu terjadi ibu mau dibawa ke dokter. Tentu saja dengan bujuk rayuku setelah ia bersikukuh akan menanggung rasa sakitnya seumur hidup sebagai penanggungan atas dosa yang menurutnya tak akan pernah terampuni.

“Aku telah berbuat kesalahan yang menyebabkan ayahmu meninggal. Bahkan dengan meninggalkan citra buruk untuk keluarga, juga namanya yang dulu dikagumi banyak orang.”

Tidak, Bu. Jangan berperasaan seperti itu. Setiap manusia bisa khilaf. Dan setiap manusia punya kesempatan untuk memperbaikinya.”

“Tapi apa yang bisa ibu perbaiki. Nama ayahmu tak akan kembali baik. Juga kehormatan keluarga ini yang sudah tergadaikan akibat ulah ibu tak akan bisa pulih begitu saja. Kita semua telah ternoda akibat kelakuan ibu.”

Ibu menangis. Aku memeluknya. Aku tahu ibu benar. Kain putih yang sudah ternoda tak akan bisa kembali putih sempurna, meski ia sudah dicuci berulang kali. Aku sendiri juga menyesal mengapa ibu bisa melakukan semua itu. Mengapa ibu selalu terbuai dengan kelimpahan harta dan juga jabatan ayah. Mengapa ibu terlalu boros hingga meninggalkan banyak hutang di sana sini yang jumlahnya tidak sedikit. Bukan cuma sejuta dua juta, tapi berpuluh-puluh juta, bahkan beratus-ratus juta. Ibu terlalu memuja gaya hidupnya sebagai isteri pejabat penting pemerintahan, hingga ia ingin membeli apa saja untuk menaikkan gengsinya sebagai isteri pejabat. Ia juga ingin pergi keluar negeri dan menghabiskan banyak uang untuk belanja di sana. Padahal semua itu tak membuatnya menjadi cukup dan berbahagia.

Yang menjadi korban pertama dari perilaku ibu tentu saja ayahku yang seorang pejabat itu. Ayah harus memenuhi semua keinginan ibu, memenuhi standar hidup ibu, hingga kuwalahan yang akhirnya menjerumuskannya untuk menggunakan uang negara. Dan karena itulah ayahku kemudian dijerat sebagai koruptor karena telah terbukti menggelapkan uang negara dari salah satu proyek penting yang ditanganinya. Dan karena itu pulalah ayahku stroke dan akhirnya meninggal.

Ketika menyadari itu ibu seperti tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Semua kini harus dikorbankan. Bahkan rumah yang ditinggalinya harus disita. Untung aku sudah punya rumah sendiri hingga aku bisa memboyong ibu bersamaku.

Kak Dino sudah sebelas kali membacakan yasin, tapi ibu masih saja belum bisa mengucapkan apapun. Beribu-ribu jarum masih menyumbat kerongkongannya. Matanya kini menggenang oleh air mata. Tapi mata itu terus menatapku. Aku bisa membacanya. Aku bisa menangkapnya.

Yang ibu takutkan adalah jika sampai ajal ibu ayahmu tak bisa memaafkan ibu. Allah pasti juga tak akan memaafkan ibu. Selama ini ayahmu begitu cinta pada ibu. Ayahmu rela melakukan apapun dan berkorban apapun demi ibu. Tapi ibu malah menjerumuskannya masuk ke dalam jurang tanpa dasar. Jurang yang meremuk dan menghancurkan hidupnya. Ibu sangat menyesal. Ibu betul-betul sangat menyesal.”

Ibu menangis sesenggukan. Aku memeluknya.

Tenang Bu. Ibu harus kuat. Ibu harus tabah. Dan ibu harus percaya bahwa tak ada kesalahan apapun yang tak bisa dimaafkan. Berdoalah pada Tuhan agar arwah ayah menjadi tenang. Mintakan juga ampun untuk ayah yang sudah ada di sana. Siapa tahu dengan doa itu ayah akan bisa memaafkan ibu. Percayalah pada Allah, Bu. Allah Maha Tahu. Allah Maha Kasih.”

Ibu memelukku begitu erat. Ia menciumku dan meminta maaf kepadaku, juga kepada semua anaknya yang juga menanggung beban atas kesalahannya.

Kak Dina kini mencoba membisikkan sesuatu pada ibu. Aku tak tahu yang dibisikkan. Tapi aku tahu ada perubahan di wajah ibu. Kak Dina mencium kening ibu. Kini air matanya meleleh. Aku mengusapnya dengan sapu tanganku. Ibu kembali menatapku.

Ibu, kami semua anak-anak ibu sudah ihlas, Bu. Kami tak akan memberati ibu. Kami juga telah mengihlaskan semua kesalahan ibu. Dan kami juga ingin ibu mengihlaskan semua kesalahan kami. Kami semua cinta pada ibu. Ayah pasti juga sangat cinta pada ibu.”

Aku mengecup keningnya, lalu kubisikkan kalimah Allah ke telinganya. Air matanya kini semakin deras. Bibirnya kini genetar. Kedua tangannya juga gemetar. Ia kini tak lagi menatap ke arahku. Ia menatap ke arah puntu. Di sana ia melihat ayahku. Aku tahu itu, karena mulutnya seperti mengucapkan panggilan pada ayah: “Mas......”

Kami semua menoleh ke arah pintu. Tapi tak ada siapa-siapa. Kami mencoba mencarinya di sudut-sudut ruangan, tapi tak terlihat siapapun. Kami semua berpikir apakah ayah benar-benar telah datang untuk menjemput ibu.

Ketika kami semua kembali pada ibu, kulihat air matanya telah menggenangi daun telinganya. Namun kedua kelopaknya telah tertutup. Kedua tangannya telah bersendakap di atas dada. Ibu tersenyum penuh keharuan.


Malang, 03 Maret 2007

Tidak ada komentar: