Rabu, 25 Juni 2008

Di Sebuah Taman

Ada rahasia yang terpendam begitu dalam, sehingga angin spoi ini tak mungkin mengusik tidurnya. Kau masih ada di sini menunggu hujan reda. Tapi kau tahu hujan ini tak mungkin reda. Langit telah begitu galau untuk memutuskan semuanya, atau begitulah tuhan. Kita duduk di sini, membisu, batu, beku, seakan tak mungkin lagi membuka mulut yang terkunci rapat; ada rahasia yang tak mungkin dibuka.

Di taman ini kau ingin kita bertemu. Ada yang harus kita ungkapkan: sebuah perasaan yang ganjil. Ku ingat malam itu kau mengendap-endap dalam gelap. Dari balik jendela kamar kau intip aku yang menangis. Kau tahu ada duka yang tak mungkin kubuka pada siapapun, termasuk kau. Hati ini menjadi begitu rapuh setelah kau datang. Aku mungkin tidak bahagia dengan perkawinanku. Tapi tidak seharusnya kau datang untuk mengasihani aku. Aku rela dengan rasa sakit ini. Toh, ada yang kubahagiakan.

Taman itu adalah taman tertua di kota ini. Jika kau berjalan-jalan ke sana kau akan melihat kegersangan; rumput-rumput mengering, tanah hampir botak. Pohon yang ada di sekeliling tinggal batangnya, bahkan batang-batang itu pun mulai kering dan rapuh. Mungkin sedikit angin yang mengepak akan meruntuhkannya dan membuatnya pecah berserakan. Taman itu sungguh tampak begitu tua. Bongkah-bongkah batu (yang biasa dipakai duduk-duduk oleh mereka yang ingin beristirah sejenak) tampak menghitam dililit lumut-lumut yang mengering. Bohlam-bohlam lampu di setiap sudut tampak sudah pecah-pecah karena dilempari batu oleh anak-anak yang sedang mabuk. Nyaris tak ada keindahan yang tersisa di sana, selain... sebuah kenangan.

Hari ini adalah hujan pertama, setelah kemarau bersemayam sepanjang tahun. Langit masih cerah, tapi rintik-rintik hujan ini terus membasahi tanah. Bau uap tanah begitu menyegarkan, mengabarkan sebuah masa baru, masa yang belum mati. Kemarau yang angkuh ini akan segera dilupakan.

Di taman itu hanya ada sebuah bangku tua terbuat dari batu keramik, namun warnanya mulai usang. Seorang laki-laki duduk memunggungi seorang perempuan. Mereka sama-sama membisu. Sampai beberapa saat sang perempuan memberanikan diri bicara.

Apa menurutmu pertemuan ini perlu?”

Sangat perlu.”

Apa menurutmu penting?”

Sangat penting.”

Perempuan itu tersenyum kecut.

Tapi ini sangat tak baik, untukku, untukmu.”

Aku tahu. Tapi semua harus dibuka sekarang. Kita tak bisa terus menerus menyimpan rahasia ini. Suatu saat mereka akan tahu.”

Seekor kucing melintas. Kakinya pincang. Mungkin ia habis berkelahi. Di kejauhan suara anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran mendera hati-hati yang galau.

Rahasia apa? Apa kita punya sesuatu untuk disembunyikan? Apa kita punya sesuatu untuk dirahasiakan? Ingat, aku bahkan tak mengenalmu.”

Bohong! Kau perempuan pembohong. Kau munafik. Aku tahu perasaanmu. Aku tahu kau tak bahagia.”

Lalu kenapa kalau aku tak bahagia?”

laki-laki itu diam. Ia tak bisa menjawabnya. Tepatnya, ia tak tak menyangka pertanyaan itu keluar dari bibir kekasihnya. Sejuta gejolak berhamburan di perasaannya. Lidahnya tak bisa bergerak.

Angin berhembus sedikit kencang, seakan menampar wajah-wajah yang resah. Laki-laki itu menghela napas, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak percaya perempuan itu akan bertanya seperti itu. Dan ia tak percaya tak bisa menjawabnya. Selama ini ia telah begitu yakin perempuan itu mencintainya. Ia tahu ia bukan miliknya, tapi ia merasa memiliki cintanya, cinta yang sangat sulit, sangat rahasia, dan perih. Ia ingin sekali menggapai cinta itu. Tapi semua masih bergelayutan di antara seribu pertanyaan. Tiba-tiba ia sangsi pada semuanya.

Laki-laki itu menghela napas, memandang pada kegalauan di kejauhan, lalu berucap datar.

Aku telah lama menunggu saat-saat ini. Kita bertemu di satu titik, memampatkan perasaan yang ada, membuka tabir yang begitu gelap, lalu membikin cahaya. Cahaya yang kita pijarkan dari hati yang paling dalam. Cahaya yang selama ini tersembunyi dan tak tersingkapkan. Selama ini aku telah menemukan jiwa yang sendiri, jiwa yang membutuhkan uluran tangan, bukan pertolongan, tapi cinta. Cinta yang sesungguhnya. Cinta yang melampaui penderitaan dan kesepian. Tapi apa yang terjadi saat ini. Jiwaku sendiri sangsi.”

Perempuan itu diam membisu.

Mungkin aku terlalu hanyut dalam perasaanku sendiri, hingga mengira kau pun mengalami hal yang sama. Tapi ternyata aku salah. Perasaanku juga salah. Kau tak seperti yang ku kira.”

Perempuan itu menghela napas.

Yang ada di hadapan kita adalah kenyataan, bukan mimpi. Kau tahu apa yang terjadi pada diriku. Kau pun tahu bagaimana perasaanku. Tapi kau juga tahu aku tak berdaya. Aku hanya seorang perempuan. Mereka mengikatku, mengikat perasaanku. Aku kalah dengan semua ini. Aku tak berdaya.”

Tidak! Aku tahu kau tak serapuh ini. Kau bukan perempuan yang gampang menyerah.”

Kau yang membuatku rapuh.”

Laki-laki itu terdiam. Angin di taman ini, juga kata-kata perempuan itu menamparnya dengan tepat. Ia semakin tak percaya.

Detik-detik berlalu. Ia masih bingung harus berkata apa lagi. Lalu sejenak kemudian ia merubah sikap. Ia turun dari duduknya lalu bergeser ke hadapan perempuan itu, memegangi lututnya dan menatapnya dengan tajam. Sang perempuan mencoba memalingkan mukanya dari pandangan laki-laki itu, tapi laki-laki itu dengan tangan yang sedikit gemetar mengembalikan wajah yang berpaling menunduk pada pandangannya. Ia berusaha meyakinkan.

Dengar! Kita hidup hanya sekali, jangan sampai tak bahagia. Kau tahu, kedatanganku bukan untuk menambah penderitaanmu, tapi sebaliknya, ingin mengobatinya. Kehadiranku sampai saat ini adalah takdir yang tak terelakkan. Pertemuan kita adalah garis hidup yang sudah pasti. Ini benar, sayang, bukan mimpi. Kau harus menerimanya. Ini bagian dari hidupmu. Kau harus menghadapinya.”

Perempuan itu menangis.

Tapi aku tak kuat, Mas. Ini bukan jawaban yang aku harapkan. Dulu aku mengharapkanmu sebagai kemungkinan kedua, sebagai ralat dari takdir yang salah. Tapi ternyata tidak. Kau adalah pelengkap penderitaanku. Kau menyempurnakan rasa sakitku!”

Ia menangis lebih dalam lagi. Lalu sang laki-laki berusaha mengatasi keadaan.

Vi, dengar, bukan hanya kau yang sakit. Bukan hanya kau yang tersiksa. Aku juga sakit. Aku juga tersiksa.”

Perempuan itu cepat-cepat menyela.

Tapi kau tidak punya beban apa-apa di belakangmu. Kau tidak mempertaruhkan apa-apa!”

Aku mempertaruhkan diriku!”

Ya, hanya dirimu! Sementara aku... kau tahu, aku mempertaruhkan semuanya: diriku, dirinya, keluargaku, keluarganya. Kau tahu itu, kan?! Semua ini tak mungkin, Mas. Tidak mungkin.”

Ia menangis lagi. Kali ini dengan rasa sakit yang tak bisa ditahan. Laki-laki itu memeluknya. Beberapa saat kemudian, ketika tangis perempuan itu mereda, sang laki-laki meregangkan pelukannya. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipi kekasihnya. Selanjutnya mereka diam, bisu.

Angin terus berhembus. Hujan rintik-rintik belum juga reda. Perasaan yang galau belum juga mereda. Kedua kekasih itu masih saja membisu, tak tahu apa yang harus dibicarakan selanjutnya. Tiba-tiba seekor anjing melintas. Anjing itu berhenti di depan mereka, mendekatkan kepalanya dan menjilati kaki-kaki mereka. Mereka merasa geli dan saling tertawa. Sang laki-laki mencoba meraih punggung anjing itu dan ingin mengelusnya. Tapi anjing itu lari. Keduanya tersenyum.

Laki-laki itu memandang kekasihnya, dan perempuan itu memalingkan wajah lelaki itu dengan tangannya. Perempuan itu menghela napas, kembali memasuki perasaannya. Mereka membisu lagi.

Lalu.... apa yang kau inginkan sekarang?”

Entahlah, Mas. Mungkin seharusnya kau pergi.”

Maksudmu?”

Pergi dari hidupku dan jangan kembali lagi.”

Apa kau sadar dengan keputusanmu?”

Aku tak perlu sadar untuk memutuskan sesuatu.”

Gila! Itu tidak adil bagiku.”

Kau pikir jika kau tetap di sini itu adil bagiku. Kau pikir jika kau terus datang mengusik hidupku itu adil bagiku.”

Laki-laki itu terdiam lagi. Air liurnya tiba-tiba mengering. Tenggorokannya sakit. Ia semakin tak paham dengan perempuan ini. Dan perempuan itu menangis lagi.

Cintamu adalah sumber penderitaanku, Mas. Cintamu adalah sumber penderitaanku. Aku tak tahan dengan semua ini. Aku tak tahan. Maafkan aku, Mas. Aku tak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin bebas dari semua ini. Aku hanya ingin bebas dari cintamu, dari perasaanmu, juga dari perasaanku. Aku sudah tak tahan dengan semua ini. Aku tak tahan.”

Tangisnya semakin dalam, dan perih.

Laki-laki itu memeluknya lagi, mencoba menenangkannya. Ia membelai punggungnya, membelai cintanya.

Beberapa saat kemudian tangisnya mereda. Perempuan itu mencoba mengendalikan diri. Ia menghapus air matanya sendiri dengan tisu yang diambil dari tasnya. Sesaat kemudian ia melirik jam tangannya.

Sudah jam empat. Sebentar lagi suamiku pulang.”

Sang laki-laki diam. Berpikir sejenak, lalu mengangguk-anggukkan kepala.

Perlu aku antar?”

Nggak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri.”

Perempuan itu meraih tas kecilnya lalu bangkit dari duduknya. Ia sekali lagi mengusap wajahnya, memastikan tak ada bekas air mata yang tertinggal di pipinya. Ia lalu beranjak pergi.

Malang, Desember 2004

Tidak ada komentar: